Selamat pagi sahabat, selamat pagi dunia, selamat pagi semua....
Diabetes melitus sering disebut penyakit gula, meski tidak pernah semanis namanya jika sudah bicara soal ongkos perawatan. Mahalnya biaya perawatan semakin menjadi beban seiring dengan terus meningkatnya jumlah pengidap di seluruh dunia.
International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan 30 juta penduduk dunia mengidap diabetes pada 1985 dan melonjak menjadi 150 juta dalam 10 tahun berikutnya. Kini jumlahnya mencapai 285 juta dan diperkirakan terus meningkat hingga 438 juta pada 2030, lebih besar dari populasi penduduk di seluruh Eropa saat ini.
Celakanya, peningkatan terbesar justru dialami oleh negara berkembang seperti Indonesia yang secara ekonomi relatif kurang kuat dibandingkan negara maju. Padahal pengobatan jangka panjang dan perawatan diabetes membutuhkan fasilitas dan sarana yang tidak murah.
"Kesadaran akan pola hidup sehat di negara maju lebih tinggi sehingga diabetes hanya dialami usia 65 tahun ke atas. Di negara berkembang, umur 45-64 tahun sudah kena," ungkap Dr Pradana Soewondo, SpPD-KEMD dari Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, dalam jumpa pers Hari Diabetes Dunia di Hotel Le Meridien, Jakarta, Jumat (19/11/2010).
Padahal keterbatasan sarana, fasilitas dan dana untuk perawatan sangat menentukan kualitas hidup pengidap diabetes. Apalagi pengobatan dan perawatan penyakit ini biasanya dilakukan dalam jangka panjang, bahkan bisa dibilang seumur hidup.
Sebagai contoh, tingkat kematian akibat diabetes di negara-negara Afrika sub-Sahara yang tergolong miskin 4 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata di seluruh dunia. Salah satu pemicunya adalah ketidakmampuan pemerintah setempat untuk menyediakan obat murah dan insulin generik.
Harapan hidup pengidap diabetes di wilayah tersebut umumnya rendah, namun tetap bervariasi sesuai dengan kemampuan ekonomi dan tingkat kepedulian pemerintahnya. Misalnya di Zamibia yang memiliki program pengelolaan insulin yang lebih baik, harapan hidup pengidap diabetes bisa mencapai 11 tahun.
Sementara di Mali, harapan hidup hanya 30 bulan karena tidak adanya program yang menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga insulin. Harapan hidup pengidap diabetes di Mozambik lebih pendek lagi, karena tidak banyak yang bertahan hidup lebih dari 1 tahun.
Mahalnya ongkos pengobatan dan perawatan
Makin banyaknya jumlah pengidap diabetes membuat biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan dan perawatan ikut membengkak. Pembengkakan biayanya bahkan ditaksir jauh lebih pesat dibandingkan laju pertumbuhan jumlah penduduk di seluruh dunia.
Sepanjang tahun 2007 saja, perawatan diabetes di seluruh dunia tercatat menghabiskan biaya sekitar US$ 232 miliar. Dikutip dari worlddiabetesday, Jumat (19/11/2010), pada tahun 2025 biaya itu diperkirakan akan terus membengkak hingga mencapai US$ 302,5 miliar.
Di negara industri, 25 persen ongkos perawatan diabetes digunakan untuk mengendalikan kadar gula darah. Pengobatan komplikasi jangka panjang seperti penyakit jantung menghabiskan 25 persen dari total biaya, sementara sisanya sebesar 50 persen digunakan untuk perawatan lain yang berhubungan dengan diabetes.
Sementara di negara-negara miskin seperti India, pengidap diabetes rata-rata menghabiskan 25 persen dari total pendapatannya hanya untuk berobat. Itupun biasanya hanya cukup untuk mengatasi peningkatan kadar gula yang benar-benar tinggi dan mengancam jiwanya, bukan untuk pengobatan rutin.
Kesulitan yang sama juga dialami oleh negara-negara di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia, yang rata-rata penghasilannya lebih tinggi. Kurangnya jaminan kesehatan dari pemerintah membuat pengidap diabetes di wilayah itu masih harus menanggung 40-60 persen ongkos pengobatan dari kantong pribadinya.
Sebagian besar atau hampir 50 persennya juga habis untuk membeli obat-obat pengendali kadar gula darah. Hanya tersisa sedikit atau bahkan tidak ada sisa sama sekali untuk mengobati komplikasi, seperti darah tinggi (hipertensi), kolesterol (hiperlipidemia), dan sakit jantung.
Biaya untuk mencegah jauh lebih murah
Meski laju pengingkatan jumlah pengidap diabetes di negara berkembang rata-rata lebih tinggi dibanding negara maju, beberapa negara di Asia berhasil mengeremnya antara lain Singapura dan Thailand. Dr Pradana mengatakan, gaya hidup sehat merupakan kunci sukses bagi kedua negara itu.
"Di Thailand, kantin sekolah tidak menjual kembang gula, soft drink dan fast food. Di Singapura, siswa yang gemuk tidak bisa pulang cepat, ada kegiatan khusus yaitu olahraga seusai jam pelajaran. Wajib militer juga dibedakan, jika umumnya hanya 6 bulan maka untuk pemuda yang gemuk waktunya lebih panjang," katanya.
Sebagai upaya pencegahan, langkah-langkah tersebut sudah cukup efektif mengingat salah satu faktor risiko diabetes adalah kegemukan. Namun bagi yang sudah mengidap diabetes, organisasi kesehatan dunia WHO memberikan 4 langkah untuk mencegah pembengkakan biaya perawatan.
Keempat langkah itu dinilai tidak hanya mudah untuk dilakukan, tetapi juga murah bila dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan jika terjadi komplikasi antara lain impotensi, serangan jantung dan amputasi. Dikutip dari worlddiabetesday, berikut ini adalah 4 langkah yang dimaksud:
- Kontrol gula darah secara minimal tetapi rutin
- Kontrol dan kendalikan tekanan darah secara teratur
- Kaki bagi pengidap diabetes yang berisiko tinggi mengalami luka
- Perawatan sebelum hamil (preconception) bagi perempuan diabetes untuk mencegah diabetes gestational
Sementara itu untuk memperingati Hari Diabetes Dunia yang jatuh pada tanggal 14 November, perusahaan farmasi Sanovi-Aventis Group menggelar kampanye bertema "Doing More Together". Kampanye tersebut dilakukan melalui peluncuran e-baloon, balon elektronik yang melambangkan kepedulian terhadap diabetes.
Sanovi-Aventis yang merupakan partner resmi World Diabetes Day 2010 mengajak siapapun yang peduli terhadap diabetes untuk bersama-sama melepaskan balon elektronik. Caranya dengan mengunjungi www.kendalidiabetes.com dan mengklik balon yang muncul di situs tersebut. (Sumber: detik.com).
Semoga para sahabat bisa menikmati pagi ini.
Salam,
Andy